We will not go down In the night, without a fight You can
burn up our mosques and our homes and our schools But our spirit will
never die We will not go down In Gaza tonight
CUPLIKAN lagu bertajuk We Will Not Go Down (Song For Gaza) itu kembali
mengakrabi telinga kita. Seutas pita hitam yang melengkung dengan latar
belakang putih dan tulisan Gaza juga kembali beredar luas di dunia maya.
Ya, sekali lagi, mata dunia tertuju ke Jalur Gaza setelah militan
Palestina dan militer Israel saling serang. Bermula dari raibnya tiga
remaja Israel, siswa seminari Yahudi, di Tepi Barat, kekerasan kembali
terlahir di perbatasan Israel-Palestina.
Ketegangan meningkat saat tiga bocah lelaki berusia 16 tahun dan 19
tahun itu ditemukan tergeletak tanpa nyawa. Pasukan Pertahanan Israel
(IDF) pun langsung membombardir Jalur Gaza yang selama ini mereka yakini
sebagai sarang militan, terutama Hamas. Bukan hanya IDF, sejumlah
ekstremis Yahudi pun melancarkan balas dendam. Mereka menculik dan
lantas membakar hidup-hidup seorang remaja Palestina.
Genderang perang pun bertalu-talu. Aksi balas dendam sekelompok warga
Israel itu pun langsung menuai balasan. Kelompok-kelompok militan Jalur
Gaza menyarangkan roket-roket mereka tanpa henti ke wilayah Israel. Aksi
balasan militan-militan Palestina itu membuat IDF berang. Mereka pun
lantas melancarkan aksi militer ke Jalur Gaza. Mereka menyebutnya
Operasi Perlindungan Perbatasan. Siklus kekerasan tanpa akhir pun lahir.
Hujan roket di perbatasan Israel dan Palestina pun berbalas rudal serta
bom. Darah-darah warga sipil tertumpah. Ibu-ibu kehilangan suami dan
anak mereka.
Bocah-bocah Palestina terpisah dari orang tua mereka yang mungkin juga
sudah tidak bernyawa. ”Rasanya pemandangan dramatis ini tidak akan
pernah berakhir. Tapi, jelas ada tujuan yang ingin dicapai masingmasing
pihak,” tandas Ron Ben-Yishai, pengamat militer sekaligus kolumnis
senior Israel, sebagaimana dilansir CNN Jumat lalu (11/7).
Menurut dia, Israel punya tujuan resmi, nonresmi, jangka pendek, dan
jangka panjang yang masuk akal bagi masyarakatnya. Tujuan utama aksi
militer IDF yang sejauh ini masih dilancarkan dari udara itu, menurut
Ben-Yishai, adalah menghentikan serangan roket militan Palestina.
”Pemerintahan Perdana Menteri (PM) Benjamin Netanyahu ingin menghentikan
serangan roket itu secara paksa. Juga, melemahkan Hamas dan
kelompokkelompok militan pendukungnya,” ungkap pria 70 tahun tersebut.
Selain itu, menurut Ben-Yishai, pemerintah berusaha mengebiri Hamas
dari kemampuan politik dan sosialnya. Selama ini, kelompok radikal
tersebut selalu bisa menarik massa melalui aksiaksi terornya.
”Setidaknya, dua tujuan utama itulah yang ingin mereka capai lewat
Operasi Perlindungan Perbatasan,” paparnya.
Dia optimistis Israel bisa mencapai dua tujuan utamanya tersebut.
Berbeda dengan Ben-Yishai, Gideon Levy yang juga pengamat politik senior
tidak yakin aksi militer IDF di perbatasan Israel dan Palestina akan
membuahkan hasil positif. ”Bukannya menghentikan, seluruh kebijakan
tersebut justru akan menyuburkan serangan militan ke Israel,” ungkapnya.
Dia khawatir represi IDF justru membuat Hamas semakin kuat.
Saat ini, menurut Levy, operasi militer IDF akan mampu membungkam
Hamas. Tapi, semua itu tidak akan berlangsung lama. Jika ada pemicu
kecil saja, IDF dan Hamas akan terlibat perang yang membuat masyarakat
internasional geram. ”Itulah yang terjadi sekitar dua tahun lalu dalam
Operasi Pilar Pertahanan atau sekitar lima tahun lalu dalam Operasi
Kasta Pemimpin,” terangnya. Di mata Levy, penduduk Jalur Gaza tak
ubahnya seperti binatang yang terkurung di balik jeruji besi. Mereka
menjadi semakin terisolasi karena kemiskinan dan kelaparan. ”Sudah
saatnya kita menaruh perhatian lebih pada penduduk Gaza. Jangan kucilkan
mereka. Buka saja perbatasan agar mereka bisa bergerak dengan bebas,”
usul Levy.
Kian panasnya tensi politik Israel dan Palestina membuat Menteri Luar
Negeri Amerika Serikat (AS) John Kerry angkat bicara. Jumat (11/7) lalu
dia mengaku prihatin atas pecahnya pertempuran di Jalur Gaza. ”Proses
damai yang masih berlangsung pun akan terhenti,” sesal Kerry. Dia juga
kecewa dengan absennya perbincangan tentang Jalur Gaza dalam pertemuan
dua negara. Sejak Jumat lalu, IDF berancang-ancang hendak melancarkan
serangan besar-besaran dari darat.
Tidak kurang dari 30.000 serdadu siap membela kedaulatan Israel di
Jalur Gaza. Bagi Israel, pertempuran tersebut penting untuk menarik
simpati dunia. Tapi, bagi Hamas, serangan Israel tersebut akan menjadi
penegas bagi dunia bahwa selama ini mereka tertindas. Bahasa kekerasan,
tampaknya, menjadi media pilihan Israel dan Palestina untuk menarik
perhatian masyarakat internasional. Jika Israel lantas pamer kekuatan
militer, militan Jalur Gaza berusaha mengetuk pintu hati seluruh umat
manusia supaya menilik kondisi mereka. Sekali lagi, darah tertumpah di
perbatasan Israel dan Palestina. Sekali lagi, solidaritas penduduk dunia
diuji. (BBC/ CNN/theguardian/hep/c17/tia)
copy: Link