Cerpen
Oleh Boculgarpit
Dinar,
bersama Pelangi di sore hari. Hanya lima menit sambil menunggu lagu hati usai
diputar. Mengapa, raga lemah ketika mendendang sua bintang di ujung cakrawala,
kekasihku. Lama menanti terang bersama tersayang, kakakku. Hanya ribuan cerita
tentang cahaya di langit. Sunyi. Tak ada suara. Ada genggaman hangat dari
mentari yang hampir tamat sementara. Lelah, hariku. Mencari kilau senja atau
sekadar satu warna tiada tertemu. Ke mana dikau? Oh, suramnya. Membuat tangisku
menggebu sampai ufuk!
“Sudahlah
sayang. Ayo pulang!” Kakak Dinar memeluk hangat pundakku. Kutahu itu dia.
“Baik, di
mana pelangi kesayanganku?” Tanyaku sampai lirih tak lagi bersembunyi.
“Dia sudah
pulang karena mengantuk.”
“Begitu?
Sayang sekali, kakak. Aku akan memberinya hadiah!”
“Nanti saja
besok. Dia akan ada tujuh warna.”
“Bukankah
dia tidak menungguku? Lalu..” Lupa apa yang harus aku suarakan. Lensaku tak
berlaku hari itu. Semua tampak hitam tak ada paduan. Aku pamit bukitku!
***
Bunda,
antar aku pergi ke sekolah! Di dada kananku ingin kupasang bintang. Aku ingin
bertemu dengan yang namanya “Tanah Air” seperti yang kudengar kecil, dari siaran
radio yang hampir hilang. Buku lima buah atau biji terserah. Ku masukkan ke tas
mahalku Rp. 15.000 dari pasar Tanjung dekat kantor kecamatan. Hadiah ranking
satu dari guru kesayanganku, Pak Hasan Yudyanto.
“Pelangi,
ayo berangkat! Kak Dinar sudah menunggu lama.” Bunda memanggilku. Sepertinya
aku harus segera beranjak. Hari ini pelajaran Ilmu Sosial, kemudian ketika
dewasa aku ingin menjadi yang di sana. Pelindung tanah air.
“Baik bunda.
Jemput aku di kamar.” Bunda meraih tanganku. Menunjukkan arah ke mana yang kutuju.
Tempat istimewa menuju bintang!
“Terima
kasih.”
***
Sampai
di rumah keduaku yang luar biasa. Banyak taman bunga katanya. Kakak Dinar juga
bilang sesuatu yang sama. Pasti teramat indah. Aku jadi ingin melihatnya,
Tuhanku. Huhh, memang aku hitam di antara kerumunan putih abu-abu. Boleh aku
tersenyum?
“Hey, matahari!” Suaranya seperti Cicha.
“Aku Pelangi. Mana boleh kamu mengganti nama
orang seperti itu.” Sedikit marah. Dia memang sulit mengingat. Apalagi itu aku.
“Maaf, aku
salah. Kamu Pelangi? Apa itu artinya?”
“Bunda dan
kak Dinar bilang, “Tujuh Warna” cantik kan?”
“Aku tidak
tahu.” Bosan mengobrol dengan Cicha. Dia sama sepertiku, hitam di antara putih
abu-abu. KRINGG! Bel menggema jauh menuju bintang. Aku rapikan gerakku, untuk
mencari tanah air, pada guruku. Mungkin lama sunyi tak berjumpa dengan tanah
air beta.
“Ibu, kapan
aku bisa bertemu dengan tanah air?”Tanyaku tak sabar. Ibu jawab aku!
“Ingin
bertemu tanah air? Di mana ya?”
“Dia pasti
sangat cantik! Seperti tujuh warna yang pernah dibilang kak Dinar.”
Ada tawa
sampai telinga. Aku ingin ikut, tapi sulit karena apa yang harus kutertawakan.
Lama Diam! Mencari sebak dada, rasa tak sabar mencari keberadaan tanah air.
Ibu
guru bilang, dia ada di ujung senja di Bukit Singgahsana. Carilah ilmu sedalam
samudera, baru kudapat bertemu dengan tanah air. Benarkah begitu? Aku mencari.
Waktu yang kian hitam di mataku, seakan ada kilau matahari seperti yang kak
Dinar bilang.
“Kak, antar
aku bertemu dengan tanah air. Dia akan memberi bintang untukku! Aku ingin
menjadi pelindungnya!” Aku yakin, aku bisa. Mencari petualangan ragam, walau
gelap menyelubung hariku. Lama sudah aku diam terus mendengarkan riuh suara
kecil, tak ada batas. Bosan.
“Di mana?
Kakak dan bunda tidak tahu. Kamu tahu?” Kak Dinar membuatku muram. Dia menjauhi
pertanyaanku. Kesal!
“Dia ada di
ujung senja. Tak mungkin mencariku, aku yang harus mencarinya. Dia sangat
membutuhkanku.” Ucapku pasti. Kakak diam.
“Baik, ayo
kita cari bersama-sama.” Kami beranjak memulai petualangan asyik penuh tanya.
Mengenggam jemari tanah air yang hangat. Di mana dia? Hey, wait me dear!
***
Bukit
telah ku naiki sepenuh hati. Kudengar kicau pipit menari, tetap hitam di
mataku. Lelah. Aku harus mencari. Ini tak jelas arah! Kak Dinar hanya mengikuti
petunjukku. Bagai melalui fairy tale. Harta karun atau ilmu menungguku.
“Semua yang
kau lihat, begitu berwarna ramai? Ini hitam kak!” Tanyaku, ini sulit kutempuh
jika sendiri. Aku si buta yang tersesat mencari bintangku, di ujung senja
Singgasana. BUKKK! Ada yang terjatuh. Dari atas langit. Oh, kehilangan sayap
merahnya. Ku bantu.
“Apa kamu tidak apa-apa? Tanyaku cemas.
“Terima
kasih. Aku kupu-kupu kecil dari bunga mawar di bukit Singgasana.’ Kau tahu, aku
TERKEJUT! Ia bilang Singgasana. Ahhh, tanah air beta, dia sudah dekat. Dinar
dan Pelangi mencari tanah air, yang jelasnya aku sendiri. Mungkin ia adalah
seorang raja. Aku akan mengabdi.
“Singgahsana?
Itu rumahmu?” Tanyaku.
“Benar, di
sana aku lahir.”
“Aku ingin
bertemu rajamu. Aku ingin menjadi pilar!”
“Benarkah?
Baik, karena kau sudah menolongku aku mau mengantarmu.” Aku senang!
“Terima
kasih.”
***
Tanah
airku, tunggu aku! Anakmu akan hadir menjadi prajuritmu! Wait me. Meski napas
tinggal tersisa 50% lagi, aku masih bisa bertahan. Ini sebuah cerita peri
tentang bintang atau benteng kokoh pilar tanah air. Aku pilarnya.
“Apa tanah
airmu sangat baik.?” Tanyaku pada si kupu-kupu yang bernama Fly.
“Apa? Emm,
mungkin saja. Tapi, benar. Masa depannya ada di tangan kami.”
“Berarti ada di tanganku juga Fly!”
“Benarkah?
Kau suka tanah airku?” Fly, jangan berkata demikian.
“Aku ingin bertemu dia.” Tak sabar tahu. Kak
Dinar membelai rambutku lembut. Mungkin saja ia tersenyum. Bahagia.
“Kak, aku bahagia. Nanti beritahu aku seperti
apa wajahnya.”
“Tentu
saja.”
***
Kupikir
begitu dekat, ternyata sangat lama. Tidak juga sampai di ujung senja. Tunggulah!
Kakiku meraba kerikil-kerikil tajam. Menghirup udara tak segar kali ini. Kak
Dinar bilang, ada asap 1 apa itu? Tak pernah kudengar. Baunya menyergak
napasku!
“Fly, apa
ini? Panas dan bau.”
“Coba kau
berdiri di atas batu ini. Kutunjukkan sesuatu tentang tanah air, ku ceritakan.”
Bagaimana?
Aku ingin mendengarnya.
Tanah air
yang kau cari, tidak lain hanya segudang polusi dan tumpukkan uang
menimbun dunia. Banyak korupsi, kolusi dan nepotisme menjadi hal yang sangat
dibanggakan.
“Aku sampai
bosan mendengar ketidakadilan di tanah air. Licik, picik, pengecut, maling, ada
semua. Batu pun pilu. Air menangis. Ibu pergi kecewa, dan para tetua dahulu
menyesal telah memperjuangkan kemerdekaan pada tanggal yang sakral itu.
“Lama tak
ada yang mau jadi diri sendiri. Semua plagiat! Semua ikut dunia lain. Generasi
muda menjadi pengikut setia yang lain. Jika kau kenal istilah bangsa lain, maka
itulah tanah airmu! Apa kau kecewa?” Fly panjang lebar. Aku terpaku. Entahlah,
terlalu rumit. Kak Dinar memegang jemariku. Serasa ingin memberiku pilihan.
Ingin menjadi pelindung tanah air atau pulang acuh tak peduli. Ini harus ada
jawabnya.
“Aku tetap
akan mencintai tanah airku lebih dari yang kalian ketahui. Aku akan menjadi
pilar negeriku! Kalau bukan aku, siapa lagi?” Tegasku. Kak Dinar memelukku.
Semua pikir tentang tanah air, biarlah. Aku generasi baru pembangun bangsaku.
Tak boleh ada yang merampas. Ibu, kembali. Aku akan berbakti sampai aku
mati! Tunggu aku tuk jadi pemimpinmu!
SELESAI
27
Juli 2012
----------------------------------------
Boculgarpit, nama alias Siti Hapsari,
mahasiswi Universitas Slamet Riyadi (Unisri) Surakarta.