- Ketua LSM Berkah Subulussalam, Syahril Tinambunan, mensinyalir
sejumlah cukong tanah menguasai 600 hektare lahan perkebunan di
Kecamatan Longkib, Kota Subulussalam tanpa memiliki Izin Usaha
Perkebunan (IUP) dari pemerintah setempat. Kenyataan itu terungkap saat
pihaknya melakukan mediasi terkait sengketa lahan di daerah tersebut,
beberapa waktu lalu.
Syahril mengatakan, penguasaan lahan secara besar-besaran sangat merugikan masyarakat dan terkesan mengabaikan peraturan pemerintah maupun UU. Pemerintah, katanya, kehilangan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebab lahan yang dikelola tanpa dilengkapi perizinan yang berlaku. Karenanya, Syahril mengisingatkan pemerintah Kota Subulussalam maupun pihak terkait lainnya turun tangan dan mengambil tindakan tegas.
“Tanah yang digarap sudah ratusan hektare tapi tidak ada izin perkebunan ini jelas merugikan daerah,” kata Syahril dalam siaran pers yang dikirim kepada Serambi, Kamis (12/4).
Kasus serupa sebenarnya sudah pernah disoroti Netap Ginting Subulussalam ketika masih menjabat ketua Komisi B DPRK Subulussalam. Netap mengaku mendapat informasi terkait dugaan jual beli tanah Negara di Kecamatan Longkib dan Runding oleh cukong yang berasal dari Sumatera Utara seperti Dairi, Tanah Karo, Langkat, Binjai dan Medan.
Para cukong tersebut menurut Netap menguasai lahan negara dengan modus operandinya menjadikan masyarakat sebagai tameng. Caranya, kata Netap, masyarakat ramai-ramai membuka lahan kosong antara dua hingga empat hektar. Kemudian, dikeluarkan Surat Pernyataan Penguasaan Pisik Tanah (SPPT) sehingga dianggap legal.
Selanjutnya, lahan yang telah diimas tumbang, kata Netap diganti rugi oleh cukong dan melengkapi dengan surat ganti rugi lahan. Ganti rugi lahan yang diterima oleh masyarakat ini menurut Netap tidak lah besar yakni sekitar Rp 2 juta per hektar.
Tidak hanya itu, permainan, menurut Netap berlanjut dalam proses pembuatan surat kepemilikan lahan terkait. Sebab, sesuai aturan apabila seseorang menguasai lahan perkebunan di atas 25 hektar maka harus melengkapi dokumen seperti Izin Lokasi (IL) Izin Usaha Perkebunan (IUP) dan Hak Guna Usaha (HGU) dan lain-lain. Karenanya, untuk menghindari hal tersebut, para cukong memecah-mecah surat terkait masing-masing sepuluh hektar per orang.
“Jadi lahan yang luasnya 100-200 hektar itu dalam surat pemiliknya dibuat beberapa orang (dipecah-red), satu orang misalnya sepuluh atau 15 hektar padahal masih dalam kelaurganya bisa saja istri anak atau keluarga lain. Ini dilakukan untuk menghindari pajak dan perizinan lain,” terang Netap.(kh)
Syahril mengatakan, penguasaan lahan secara besar-besaran sangat merugikan masyarakat dan terkesan mengabaikan peraturan pemerintah maupun UU. Pemerintah, katanya, kehilangan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebab lahan yang dikelola tanpa dilengkapi perizinan yang berlaku. Karenanya, Syahril mengisingatkan pemerintah Kota Subulussalam maupun pihak terkait lainnya turun tangan dan mengambil tindakan tegas.
“Tanah yang digarap sudah ratusan hektare tapi tidak ada izin perkebunan ini jelas merugikan daerah,” kata Syahril dalam siaran pers yang dikirim kepada Serambi, Kamis (12/4).
Kasus serupa sebenarnya sudah pernah disoroti Netap Ginting Subulussalam ketika masih menjabat ketua Komisi B DPRK Subulussalam. Netap mengaku mendapat informasi terkait dugaan jual beli tanah Negara di Kecamatan Longkib dan Runding oleh cukong yang berasal dari Sumatera Utara seperti Dairi, Tanah Karo, Langkat, Binjai dan Medan.
Para cukong tersebut menurut Netap menguasai lahan negara dengan modus operandinya menjadikan masyarakat sebagai tameng. Caranya, kata Netap, masyarakat ramai-ramai membuka lahan kosong antara dua hingga empat hektar. Kemudian, dikeluarkan Surat Pernyataan Penguasaan Pisik Tanah (SPPT) sehingga dianggap legal.
Selanjutnya, lahan yang telah diimas tumbang, kata Netap diganti rugi oleh cukong dan melengkapi dengan surat ganti rugi lahan. Ganti rugi lahan yang diterima oleh masyarakat ini menurut Netap tidak lah besar yakni sekitar Rp 2 juta per hektar.
Tidak hanya itu, permainan, menurut Netap berlanjut dalam proses pembuatan surat kepemilikan lahan terkait. Sebab, sesuai aturan apabila seseorang menguasai lahan perkebunan di atas 25 hektar maka harus melengkapi dokumen seperti Izin Lokasi (IL) Izin Usaha Perkebunan (IUP) dan Hak Guna Usaha (HGU) dan lain-lain. Karenanya, untuk menghindari hal tersebut, para cukong memecah-mecah surat terkait masing-masing sepuluh hektar per orang.
“Jadi lahan yang luasnya 100-200 hektar itu dalam surat pemiliknya dibuat beberapa orang (dipecah-red), satu orang misalnya sepuluh atau 15 hektar padahal masih dalam kelaurganya bisa saja istri anak atau keluarga lain. Ini dilakukan untuk menghindari pajak dan perizinan lain,” terang Netap.(kh)
Editor : bakri
Bocah 5 Tahun Tewas di Tangan Ayah Sendiri
SERAMBINEWS.COM, KARAWANG - Tiara, bocah umur 5 tahun,
tewas di tangan ayahnya sendiri, Ma'mun, di Desa Pasirkamuning,
Kecamatan Telagasari, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, Minggu
(15/4/2012). Kepada polisi, Ma'mun mengakui perbuatannya.
Kepala
Kepolisian Resor Karawang, Ajun Komisaris Besar Arman Achdiat,
mengatakan, pihaknya masih menyelidiki motif pembunuhan tersebut. Namun,
polisi akan memeriksa kondisi kejiwaan Ma'mun, yang dinilai aneh,
antara lain mengakui perbuatannya dengan tanpa penyesalan.
Tiara
ditemukan tewas di kamar rumahnya di Dusun Krajan RT 1/5 Desa
Pasirkamuning, Minggu pukul 03.00 WIB. Kepolisian Sektor Telagasari
mendapat laporan tentang pembunuhan itu, dari tetangga korban dan
kemudian mendatangi lokasi.
Ma'mun diduga nekat menghabisi nyawa
putrinya, karena frustasi dan banyak hutang. Dia diduga mencari
pesugihan. Ma'mun membunuh Tiara yang sedang tidur dengan menggunakan
pisau.
"Pelaku ditangkap di rumahnya dan kini ditahan di Mapolsek Telagasari," tambah Arman.
Editor : Boyozamy
Sumber : Kompas.com