Meski sudah 20 tahun berselang, Amalia Rehman, tidak bisa melupakan
peristiwa bersejarah yang telah mengubah jalan hidupnya. Peristiwa
ketika ia memutuskan mengucap dua kalimat syahadat dan menjadi seorang
Muslim.
Amalia lahir dari keluarga Yahudi, ibunya seorang Yahudi Amerika dan
ayahnya seorang Yahudi Israel. Ayah Amalia, Abraham Zadok bekerja
sebagai tentara pada masa-masa pembentukan negara Israel tahun 1948.
Kedua orang tuanya termasuk Yahudi yang taat, tapi menerapkan sistem
pendidikan yang lebih moderat pada Amalia dan kedua saudara lelakinya.
Amalia dan keluarganya pergi ke sinagog hanya jika ada perayaan besar
agama Yahudi.
Sejak kecil Amalia dikenal sebagai anak yang cerdas dan ambisius.
Pada usia 13 tahun, Amalia mulai merasa ingin menjadi orang yang lebih
relijius. Karena ia menganut agama Yahudi, maka Amalia berniat
memperdalam ajaran agama Yahudi. Tapi, setelah mempelajari Yudaisme,
Amalia merasa belum menemukan apa yang dicarinya. Ia lalu ikut kursus
bahasa Ibrani, itupun tak membantunya untuk menemukan hubungan
relijiusitas agama yang dianutnya.
Kemudian, sambil kuliah di bidang psikologi di Universitas Chicago,
Amalia mengambil kursus Talmud. Amalia menyebut masa itu sebagai masa
yang paling membahagiakannya, karena ia melihat titik terang dari apa
yang dicarinya selama ini soal agama Yahudi yang dianut nenek moyangnya.
Meski akhirnya, ia menyadari bahwa agama Yahudi ternyata tidak memakai
kitab Taurat. Para pemeluk agama Yahudi, kata Amalia, tidak mengikuti
perintah Tuhan tapi hanya mengikuti apa kata para rabbinya.
“Semua berdasarkan pada siapa yang menurut Anda benar, sangat ambigu.
Agama Yahudi bukan agama sejati, bukan agama kebenaran,” ujar Amalia.
Amalia mulai mengenal agama Islam ketika ia pindah ke California
untuk berkumpul bersama keluarganya. Di kota itu, Amalia berkenalan dan
berteman dengan orang-orang Arab yang sering berbelanja di toko
orangtuanya yang berjualan kacang dan buah-buahan yang dikeringkan di
pasar petani San Jose.
“Saya tumbuh sebagai orang Yahudi dan didikan Yahudi membuat saya memandang rendah orang-orang Arab,” kata Amalia.
Meski Amalia memiliki prasangka buruk terhadap orang-orang Arab,
Amalia mengakui kebaikan orang-orang Arab yang ia jumpai di toko
ayahnya. Ia bahkan berteman akrab dengan mereka. “Satu hal yang menjadi
perhatian saya tentang orang-orang ini, mereka selalu bersikap baik satu
sama lain dan saya merasakan betapa inginnya saya merasakan seperti
mereka, sebagian hati saya ingin memiliki perasaan yang indah itu,”
imbuhnya.
Suatu sore, saat Amalia dan teman-teman Arabnya menonton berita di
televisi yang membuatnya bertanya-tanya tentang hari kiamat yang tidak
pernah ia kenal dalam agama Yahudi. Pertanyaan-pertanyaan yang ada di
kepalanya tentang Islam ketika itu, bagi Amalia adalah cara Tuhan untuk
mendekatkan diri pada Islam.
“Allah mendekati manusia dengan cara pendekatan yang manusia
butuhkan. Allah mendekati saya dengan cara yang saya butuhkan, dengan
menimbulkan rasa keingintahuan saya, rasa lapar terhadap ilmu, rahasia
kehidupan, kematian dan makna kehidupan,” ujar Amalia.
Hingga suatu hari, Amalia mengatakan pada teman-teman Arabnya bahwa
ia sedang mempertimbangkan ingin menjadi seorang Muslim. Pernyataan
Amalia tentu saja mendapat dukungan dari teman-teman Arabnya, tapi tidak
dari kedua orangtuanya.
Sampai
Amalia benar-benar mengucapkan dua kalimat syahadat, kemudian menikah
dengan salah seorang pria Arab dan memiliki seorang puteri bernama
Ilana, teman-teman Yahudi dan orangtua Amalia masih belum menerima
keislaman Amalia. Kedua orang tua Amalia bahkan memanggil suaminya
dengan sebutan rasis “Si Arab”. Ibu Amalia sampai akhir hayatnya bahkan
tidak mau berkomunikasi lagi dengan puterinya.
“Saya tidak suka Muslim, mereka komunitas kelas bawah. Mereka
melempari orang-orang Israel dengan batu, membunuh orang-orang Yahudi,
saya tidak percaya pada mereka. Ibu Amalia memandang suami Amalia yang
Arab adalah musuh. Ibu Amalia sangat zionistis dan sangat membenci
Islam,” tukas Abraham, ayah Amalia.
Itulah masa-masa terberat Amalia setelah menjadi seorang mualaf, tapi
ia tidak pernah menceritakan kesulitannya pada suaminya. Seorang teman
dekat Amalia, Emma Baron mengatakan bahwa sahabatnya itu pandai
menyembunyikan perasaannya dan kesedihannya, termasuk ketika Amalia
berpisah dengan suaminya.
Harapan kembali tumbuh di hati Amalia saat ia bertemu dengan seorang
Muslim asal Pakistan bernama Habib. Pernikahannya dengan Habib hanya
membawa sedikit perubahan bagi hubungan Amalia dengan keluarganya.
Hubungan mereka mulai membaik tapi ayah dan kedua saudara lelaki Amalia
tetap memandang Muslim bukanglah orang yang beragama, pengkhianat,
anti-Yahudi dan anti-Israel.
“Saya sudah berusaha bersikap baik pada mereka, tapi saya gagal.
Mereka mungkin lebih senang melihat saya jadi biarawati ketimbang
menjadi seorang Muslim,” keluh Amalia.
Tapi hati Amalia sedikit terhibur, karena ibu tirinya Annete bisa
menerimanya. Annete sendiri awalnya seorang Kristiani yang kemudian
pindah ke agama Yahudi saat menikah dengan ayahnya, sepeninggal ibu
kandungnya. Annete memuji Amalia sebagai orang bersikap dewasa dan teguh
pada keyakinannya meski kerap mendengar komentar-komentar pedas dari
ayahnya.
Amalia yang kini berusia 43 tahun mengakui mengalami pasang surut
dalam kehidupannya sebagai seorang mualaf. Tapi ia mengakui menemui
ketenangan jiwa dalam Islam. “Saya sudah menemukan kebenaran itu,”
tandas Amalia yang sekarang hidup bahagia dengan suaminya Habib dan
empat anak-anaknya. (ln/jfa.com)
Note: Situs Web Asli