“Dan janganlah kalian memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah
selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui
batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap
baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Rabb merekalah kembali mereka,
lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.” (QS. Al-An’aam [6] : 108)
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas رضي الله عنهما bahwasanya
beliau menjelaskan firman-Nya: “Dan janganlah kalian memaki
sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah” beliau berkata,
“Orang-orang musyrik berkata, ‘Wahai Muhammad, kamu hentikan celaanmu
terhadap sesembahan-sesembahan kami, atau kami akan ejek Rabbmu.’ Maka
Allah pun melarang orang-orang mukmin untuk mencela sesembahan
orang-orang musyrik, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan
melampaui batas tanpa pengetahuan”
Ayat ini mengandung faidah yang agung, yaitu kaidah syariat: Saddu Adz-Dzara’i (menutup segala pintu menuju kerusakan) dan Darulmafaasid Muqoddam ‘Ala Jalbil Masholih (menolak kerusakan lebih didahulukan daripada mengambil kemaslahatan).
Islam melarang dan mengharamkan segala sesuatu yang mengantarkan
kepada kerusakan, apakah itu perbuatan maupun benda, walaupun padanya
terdapat kemaslahatan, jika dikhawatirkan akan mengantarkan kepada
kerusakan yang lebih besar daripada kemaslahatan yang coba diraih.
Mencela sesembahan-sesembahan musyrikin tidak syak lagi tentu
mempunyai kemaslahatan, yaitu menampakkan pengingkaran terhadap
kemungkaran dan juga memperlihatkan kelemahan dan kebatilan sesembahan
selain Allah. Akan tetapi tatkala faidah dan kemaslahatan yang coba
diraih ini justru akan “terkubur” oleh kemudharatan besar yang akan
muncul, yaitu dilecehkan dan dihinakannya Allah, maka Allah pun melarang
dan mengharamkan hal tersebut.
Berkata Ibnu Katsir, “Allah berfirman melarang rasul-Nya dan kaum
mukminin dari mencela sesembahan-sesembahan kaum musyrikin, walaupun
padanya terdapat maslahat, karena hal itu berakibat munculnya kerusakan
yang lebih besar dari maslahat yang didapat yaitu balasan musyrikin
berupa celaan terhadap ilahnya kaum mukminin yaitu Allah yang tidak ada
ilah yang berhak diibadahi kecuali-Nya. (Tafsir Ibnu Katsir)
Karena itu, segala kemaslahatan yang akan mengantarkan kepada
kerusakan yang lebih besar darinya, telah dilarang dalam islam. Dan
contoh tentang itu bisa kita dapati dalam kehidupan sehari-hari.
Seperti yang disebutkan dalam Shahih Bukhari (5973) dan Shahih Muslim
(90/146) dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ashرضي الله عنهما bahwasanya
Rasululllah صلى الله عليه وسلم bersabda, “Terlaknatlah orang yang memaki
kedua orang tuanya.” Para shahabat berkata, “Wahai Rasulullah,
bagaimana (bisa) seseorang memaki kedua orang tuanya?” Beliau menjawab,
“Dia memaki bapak orang lain, kemudian orang itu memaki bapaknya, dan
dia juga memaki ibu orang lain kemudian orang itu memaki ibunya.”
Tatkala seseorang mencela bapak dan ibu orang lain sangat besar
kemungkinan orang tersebut akan mencela orang tuanya, karena itu Islam
melarang hal tersebut, untuk menutup pintu kerusakan lebih lanjut yaitu
terjadinya perpecahan dan saling mencela diantara kaum muslimin.
Termasuk yang serupa dengan itu adalah orang-orang yang dikarenakan
semangat dan ghirah (kecemburuan) mereka terhadap Islam, mengingkari
kemungkaran yang terjadi di masyarakat, akan tetapi sayangnya, tanpa
ilmu dan hikmah, sehingga akhirnya mereka melakukan sesuatu yang justru
mengakibatkan kemungkaran yang lebih besar dari pada kemungkaran yang
akan diingkari.
Seperti sebagian saudara kita yang ketika melihat saudari atau
temannya memakai pakaian yang ketat dan tidak memakai busana muslimah
[baca: jilbab] , sesak dadanya dan gusarlah hatinya (dan ini tentu tak
salah, bahkan terpuji, karena pertanda adanya keimanan dalam hatinya),
akan tetapi karena kurangnya ilmu dan hikmah, apa yang ia lakukan
setelah itu?
Ia langsung “memberi pelajaran” kepadanya. Hampir di setiap
pembicaraan dengannya-disadari atau tidak- ia “menyerang” atau
menyindirnya. Dan kadang “menghukumnya” sebagai orang yang sangat
berdosa, jauh dari rahmat Allah dan berbagai keburukan lainnya yang
sangat mengerikan.
Dia lupa atau tidak mengerti bahwa untuk “mengubah” seseorang itu
tidak bisa dicapai dengan cara yang kaku dan keras, akan tetapi
itu-dengan izin Allah- hanya bisa dicapai dengan hikmah dan nasehat yang
baik serta lemah lembut.
Lantas, apa akibat dari kecerobohannya itu? Bukannya dia (saudari
atau temannya itu) akan memakai busana muslimah dan bertaubat, akan
tetapi yang terjadi kemungkinan besar malah ia akan benci dengan “si
pemberi pelajaran”, bahkan bisa jadi-naudzubillah-dia malah membenci
ayat-ayat dan hadits yang dibawanya itu dan itu tentunya bukan hanya
menjerumuskannya dalam dosa dan kemaksiatan, akan tetapi
menenggelamkannya pula dalam kekufuran dan menjauhkannya dari hidayah.
Wal’iyadzubillah..
Kalau sudah begitu, apakah kemaslahatan yang akan didapat? Tidak,
justru kemungkaran besar yang akan didapat dan itu lebih besar dari
kemungkaran yang akan dihilangkan [baca: tidak berbusana muslimah]. Itu
dosa yang akan dipertanggung jawabkan di hari kiamat nanti.
Masih banyak lagi contoh-contoh yang mirip dengan kasus di atas, yang
pastinya tidak dibenarkan dalam islam. Karena islam, sekali lagi, telah
melarang dan menutup segala perbuatan dan tindak-tanduk yang akan
mengantarkan kepada kerusakan, walaupun ada maslahat di dalamnya
(apalagi yang tidak ada maslahatnya tentunya), jika itu menyebabkan
munculnya kerusakan yang lebih besar daripada kemaslahatan yang ingin
diraih.
Itulah hikmah yang telah diisyaratkan Allah dalam ayat di atas,
mudah-mudahan kita bisa mengambil manfaat darinya dan mengamalkannya.
Amin..
Jakarta,
Note: Situs Web Asli