Tragedi
gempa bumi yang terus menerus mendera bangsa ini, ternyata tidak
memberikan kesadaran untuk melakukan pembelajaran dalam penanganannya.
Meskipun Obama, Presiden Amerika cukup teranga-terangan mengatakan
bangsa ini bangsa yang kuat, tetapi tidak kuat dalam soal ingatan.
Persoalan-persoalan
yang muncul dalam setiap kali terjadi tragedi kemanusiaan, seperti
gempa, selalu saja tetap dan tak juga beranjak. Sebut saja, Wali Kota
Padang, mengatakan sumbangan tersedia cukup banyak, tetapi terkendala
dengan soal distribusi. Sementara pada kabar yang lain, tidak sedikit
orang yang belum terjangkau bantuan sama sekali. Di sisi lain, pesawat
berbadan lebar yang membawa bantuan pangan, kendaraan dan relawan justru
tertahan tak bisa masuk ke Sumatra Barat.
Ironisnya,
hampir seluruh institusi di negeri ini beramai-ramai membuka
rekeningnya, menyodorkan alamatnya, untuk menerima bantuan langsung dari
masyarakat. Bahkan salah satu stasiun TV ada yang melakukannya dengan
program live-nya.
Kita
menjadi khawatir, berbagai mobilisasi sumbangan dari masyarakat
ternyata hanya dilakukan dengan gagasan-gagasan dan strategi
pengumpulannya. Sementara manajemen distribusi tidak dipikirkan secara
serius. Jika benar ini terjadi, sungguh para pengumpul sumbangan sedang
melakukan pengabaian terhadap rasa kemanusian dan solidaritas sesama
antar warga negara di negeri ini dan bahkan negara-negara asing lainnya.
Kenyataan
ini menunjukkan betapa kapasitas pengelolaan gempa di Indonesia sama
sekali tidak pernah mendapatkan perhatian cukup serius. Berbagai bantuan
untuk melakukan peningkatan kapasitas sumber daya manusia tidak
menghasilkan pengetahuan dan ketrampilan yang menggembirakan.
Kita
pantas untuk mengakui diri sebagai bangsa yang abai terhadap
persoalan-persoalan di negeri ini. Tentu tidak saja gempa tetapi juga
soal korupsi, politik dagang sapi, dan fenomena sosial lain, yang
terkadang membuat kita menjadi kehilangan kepercayaan terhadap
kesungguhan penguasa di negeri ini menjalankan mandat rakyatnya.
Kita
juga pantas untuk mengakui diri sebagai bangsa pelupadan beringatan
pendek. Sehingga, pelajaran dari gempa di Tasikmalaya, tak juga bisa
menjadi pegangan dalam menangani gempa di Sumatra Barat. Kita selalu
gagap dan bahkan menunjukkan ketidakpastian. Sebut saja, soal teknis,
pembongkaran reruntuhan diperkirakan membutuhkan tidak kurang dari 50
armada. Ternyata, setelah 3 hari guncangan gempa, baru hanya tersedia 20
armada.
Mengakui merupakan jalan
penting untuk kita membenahi diri. Mengembangkan dengan penuh kesadaran,
negeri ini, saat ini, sungguh-sungguh rawan gempa, banjir, longsor
ancaman alam yang lain. Sungguh kita menantikan para penguasa yang
memiliki sensitivitas terhadap persoalan seperti ini.
copy: Link